Perguruan beladiri - Perguruan Tenaga Dalam - Konsultasi Spiritual - indera ke 6 -

MAS PUTRA - Spiritual Muda Tahta Mataram



Selamat Datang dan Selamat Berkunjung di Website Kami
Siapah Sebenarnya Mas Putra?


Sosok Mas Putra adalah seseorang yang telah menekuni dan mendalami keilmuan yang bergerak di bidang spiritual. Mas Putra menempa dan mepelajari berbagai keilmuan spiritualnya melalui padepokan Tahta Mataram, yaitu Lembaga Pernafasan Tenaga Dalam dan Penyembuhan yang di pimpin oleh Ki Surya Nagapati.


Setelah sekian lama menempa dan mengasah diri di Tahta Mataram Mas Putra mempunyai kemampuan spiritual yang tergabung menjadi salah satu tim spiritual HIRAGANA yang dibentuk langsung oleh Lembaga Tahta Mataram melalui Ki Aryo Wisanggeni selaku Ketua Dewan Kepelatihan Tahta Mataram.


Dengan perjalanan dan pengalaman spiritual yang dimilikinya selama menempa diri di padepokan Tahta Mataram Mas Putra mendapatkan tugas untuk mengembangkan diri dan mengamalkan keilmuan yang dia dapatkan kepada sesama untuk tujuan kebaikan dan amar makruf nahi munkar.


Tahta Mataram merupakan suatu Lembaga Beladiri Pernafasan Tenaga Dalam dan Penyembuhan yang telah berhasil mendidik banyak orang untuk menjadi lebih bermanfaat dan berguna untuk sesama. Untuk melihat lebih jelasnya tentang Profil Lembaga Tahta Mataram silahkan buka di website resmi www.tahtamataram.com.


Tahta Mataram sendiri merupakan Lembaga Berbadan Hukum yang sah dan mempunyai Naungan di Yayasan Padpokan Lindu Aji. Untuk melihat lebih jelasnya tentang Profil Yayasan Padepokan Lindu Aji silahkan buka di website resmi www.linduaji.com .


Mas Putra Siap membantu anda dalam menyelesaikan segala problematik kehidupan, masalah asamra, bisnis, karier, jodoh, rumah tangga, keilmuan, kesehatan, penyembuhan, kebatinan, keghoiban, tenaga dalam, spiritual dan masalah kehidupan lainnya.

Home » » MISTERI ANGKER GUNUNG LAWU

MISTERI ANGKER GUNUNG LAWU

MISTERI ANGKER GUNUNG LAWU - GUNUNG LAWU

MISTERI ANGKER GUNUNG LAWU

Gunung Lawu, terletak di perbatasan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dan Magetan, Jawa Timur menjadi salah satu dari 'Seven Summits of Java' (7 puncak pulau Jawa). Beberapa paranormal menyebutkan bahwa ini gunung paling angker dan mistis di Indonesia, sebab menyembunyikan 'jati dirinya'. Bagi masyarakat sekitar, Lawu seolah 'bernyawa' dan tidak sembarangan orang diterima oleh gunung itu. Penampakan-penampakan aneh sering terjadi dan ini dirasakan juga oleh warga yang bermukim di kaki Lawu.

Ada beberapa kisah mistis di gunung lawu . . .

- Gunung kelima tertinggi di Pulau Jawa itu merupakan peristirahatan terakhir raja Majapahit penghabisan yakni Prabu Brawijaya V. Namun anehnya tak satupun ditemukan jasad sang prabu. Dia disinyalir menghilang bersama raganya alias moksa. Sang prabu ditemani abdi dalemnya yang setia yakni Kyai Jalak. Sama seperti tuannya, Kyai Jalak juga bermoksa dan menjelma menjadi burung Jalak sesuai namanya. Namun Jalak jelmaan kyai bukan berwarna hitam melainkan gading. Tak semua pendaki bisa bertemu dengan Jalak ini.

- Kyai Jalak yang menjelma sebagai jalak gading ini dipercaya memberikan petunjuk bagi pendaki untuk sampai ke puncak. Namun bagi pendaki yang dikehendaki oleh Jalak Lawu ini. Sebaliknya, jika pendaki itu tak memiliki hati bersih, Jalak Lawu tidak akan muncul. Pendaki biasanya tidak akan sampai puncak sebab tak memiliki restu dari Kyai Jalak.

- Gunung Lawu seolah memiliki nyawa yang bisa mendengar setiap kata-katamu. Apa pun yang kamu keluhkan biasanya terwujud. Jika kamu mengatakan kelelahan mendaki Lawu, kamu benar-benar dibuat lelah. Jika kamu mengatakan sangat dingin, kamu bisa dibikin kedinginan.

- Kemunculan pasar setan. Pasar ini tak terlihat dengan mata biasa namun terdengar keramaian. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendengarnya. Jika kamu mendengar suara 'arep tuku apa mas/mbak?' (mau beli apa mas/mbak), sebaiknya kamu membuang uangmu, berapa pun nilainya. Lalu petiklah daun seperti sedang berbelanja. Jika ini tak dilakukan, konon kamu bakal menghadapi masalah di Lawu.

- Kupu-kupu hitam dengan bulatan biru di sayapnya. Kalau kamu melihat kupu-kupu ini pertanda kamu diterima baik di gunung tersebut. Bahkan beberapa orang mempercayai ketemu berkah setelah pulang mendaki. Namun jangan sampai menangkap, mengusir, mengganggu, bahkan membunuh si kupu-kupu.

- Pantangan lain yakni dilarang memakai busana berwarna hijau daun. Hijau merupakan busana ratu Pantai Selatan yakni Nyi Roro Kidul yang tak sembarangan dipakai di Jawa. Selain itu, jangan pernah mendaki Gunung Lawu dengan rombongan berjumlah ganjil. Hal ini bisa mendatangkan kesialan.

Beberapa pendaki juga pernah bercerita kepada saya tentang kejadian aneh ketika sedang melakukan pendakian di gunung lawu. Si pendaki itu bercerita bahwa ia pernah bertemu kakek misterius di gunung lawu.

Sebenarnya awalnya sama sekali pendaki itu tidak ada niatan untuk mendaki Gunung Lawu, tujuan utama mereka adalah Telaga Sarangan, Magetan dan Grojokan Sewu di Tawangmanggu, Karang Anyar. Lagi pula mereka juga tidak membawa bekal memadai untuk sebuah pendakian. Pada awalnya mereka berencana pagi-pagi sekali mau berangkat dari Tuban, setidaknya sebelum tengah hari sudah sampai telaga Sarangan. Karena ada satu hal, seorang teman satu rombongan kesulitan mendapat ijin dari kantor dia bekerja, baru jam 11 siang mereka berangkat dari rumah. karena mobil masih longgar untuk rombongan awal 6 orang, iseng-iseng si pendaki ngontak sahabatnya, yang kebetulan bisa bawa mobil asumsi si pendaki, bisa si pendaki ajak gantian nyetir pada nantinya. Perjalanan yang diringi hujan semenjak dari Bojonegoro menuju Ngawi tak mengurangi keceriaan mereka. Karena mereka baru sampai di telaga sarangan sudah sore, jam 16.30, niat awal itu mereka urungkan, rencanannya sekembali dari Tawangmangu saja mereka mampir ke Sarangan, lagi pula waktu itu hujan lumayan lebat. akhirnya mereka sepakat untuk ke Tawangmangu dulu. Karena seharian belum sempat mengisi perut di kawasan Cemoro Sewu mereka berhenti sejenak untuk cari makan dan tentu saja ‘ngopi’. Setelah memesan kopi yang mereka tuang dalam tremos untuk bekal begadang, mereka pun bersiap meneruskan perjalanan. Entah kenapa, sebelum sempat mereka meneruskan perjalanan, 4 rekan mengajak naik ke Gunung Lawu. Lagi-lagi rencana berubah. Akhirnya mereka sepakat untuk naik ke Gunung Lawu. Tanpa bekal yang memadai. Alias Nekat.

Mereka semua sama sekali tidak terlatih atau pernah mendaki gunung sebelumnya. Berbekal informasi kecil dari petugas yang ada di pos Cemoro Sewu, lepas sholat maghrib mereka bertujuh menembus hujan naik ke gunung Lawu. Menyusuri jalan setapak yang sudah di beri batuan gunung, mereka berandai-andai jika perjalanan sampai ke puncak Lawu akan bisa mereka tempuh dalam beberapa jam kedepan. Pekat malam, dan mereka hanya berbekal satu lampu senter, mereka harus berhemat dengan baterainya. Kalau tidak penting betul mereka tidak menyalakan senter satu jam perjalanan kami sampai pada Pos istirahat. Mereka kira itu adalah Pos 1. Ternyata belum. Masih jauh. Satu jam lagi perjalanan. Nyali mereka jadi ciut, antara meneruskan perjalanan atau kembali turun.

Memang benar adanya, banyak hal yang aneh-aneh dalam gunung Lawu. Mulai dari burung merpati putih yang mengikuti mereka semenjak dari Cemoro Sewu. Padahal waktu itu hujan. Gamang juga meski bertujuh. Sesekali di sekitar lembah juga sepeti ada orang yang tertawa, membuat merindi. Seperti ada keceriaan di sana. Ada yang unik juga ketika mereka berhenti di jalan yang agak landai dan lumayan lapang karena pepohonan banyak yang tumbang, tremos yang berisi kopi tiba-tiba saja berpindah tempat dari tempat mereka beristirahat. Salah satu rekan si pendaki yakin dia tidak menaruhnya di situ. Tapi disampingnya dan ditinggal buang air kecil. Alam rupa-rupanya kurang bersahabat, hujan kian lebat. dengan susah payah akhirnya mereka sampai juga di Pos 1. Disana mereka bertemu pendaki yang baru turun dari puncak, mereka mendapat informasi agar mereka mengurungkan dulu perjalanan ke puncak dan diteruskan saja pagi harinya. Mereka sepakat untuk bermalam di pos 1. Lagi pula di pos 1 tersebut ada warung dan mereka bisa membeli bekal untuk mereka bawa mendaki ke puncak esok harinya. Warung tersebut buka pada pagi dan tutup menjelang maghrib. Berbekal makanan ringan yang mereka beli. Dari sinilah cerita ini dimulai…….. 

Sesampai dilokasi POS 1 mereka langsung berbagi tugas, ada yang bertanggung jawab membersihkan lokasi, dan si penddaki kebetulan mendapat tugas untuk mencari kayu bakar. Tapi mustahil si pendaki mendapatkan kayu yang kering pada saat hujan speperti itu. Sebenarnya ini bukan tugas si pendaki, tapi karena 3 rekan si pendaki tidak mendapatkan kayu yang kering dan kembali dengan tangan hampa. Akhirnya si pendaki dengan sahabat pendaki berinisiatif mencari kayu bakar di sekitaran warung di bawah pos 1. Namun sial, tak satu dahan dan ranting mereka temukan. Terdorong rasa jengkel dan kebutuhan penting untuk ‘berdiang’ menghilangkan hawa dingin. Berdua mereka semakin menurun lembah dibelakang warung tersebut. lagi-lagi semua kayu yang mereka temui basah, buah dari keras kepala dan tidak menerima logika! Karena sudah kepalang tanggung, mereka berdua lebih turun lagi ke lembah yang dipenuhi pohon pinus, apalagi hujan sudah reda. Dan alhamdulillah, setelah mereka masuk agak ke dalam hutan pinus tersebut, baru beberapa potong mereka temui ranting-ranting  pinus yang lumayan kering, namun tetap saja agak basah. Namun ketika mereka sedang sibuk-sibuknya mencari kayu dengan lampu senter, tahu-tahu ada seorang kakek menegur sahabat pendaki yang memang ada di depan pendaki. 

“Golek kayu bakar dinggo opo toh, Lee (cari kayu bakar untuk apa toh, Nak)?” tanya kakek tersebut. Jujur, pendaki sangat terkejut dengan keberadaan si Kakek yang tiba-tiba, bukan sahabat pendaki yang menjawab pertanyaan kakek tersebut tapi justru pendakilah yang menjawabnya. Maklum saja sahabat pendaki ini kurang bisa berbahasa Jawa yang halus. “Kangge berdiang, Mbah! Kulo sak konco sipeng teng inggil mriku, teng POS 1 (Untuk perapian, Mbah! Saya dengan teman-teman menginap diatas sana, di POS 1)” “Lha kayu teles ngono kok arep dinggo berdiang, opo yo iso murup (Lha kayu basah gitu kok mau dibuat berdiang, apa ya bisa nyala)? “Lha wontene kajeng nggih niki, Mbah! Nggih mangke ak saget-sagete diurupaken (Adanya kayu ya ini, Mbah! Ya nanti diusahakan dinyalakan)?” jawab pendaki berbasa-basi, karena pendaki membayangkan betapa susahnya menyalakan kayu yang kami dapatkan itu.
“wis ngene wae, Lee! Ayo melu Mbah nang omahe Mbah, Mbah duwe kayu bakar akeh tur garing-garing. Mengko yen mbok nggo berdiang cepet murup. Piye, gelem ora kowe (Sudah gini saja, Nak! Ayo iku Mbah, Mbah punya kayu bakar banyak lagian sudah kering-kering. Nanti kalau kamu buat perapian cepet nyalanya. Gimana, mau nggak kamu)? Pendaki menjawab “ Daleme Mbah pundi, menawi tebih kulo mboten sekeco kaleh konco-konco, mesakaken konco-konco kulo kedangon ngentosi (Rumahnya mbah dimana, kalau jauh saya tidak enak sama teman-teman. Kasihan teman-teman saya lama menunggu)?” “Ora adoh kok, Lee! Mung rodo mlebu alas kuwi sitik, wis mulehe mengko tak terke nek kowe wedi kesasar (Gak jauh kok, Nak! Hanya agak masuk hutan ini sedikit, sudah nanti pulangnya aku antar kalau kamu takut lupa jalan)?”. Setelah mereka pikir-pikir, meski ada perasaan yang kurang enak, tapi masih kalah oleh kesungguhan kakek tersebut, apa salahnya mereka menyambut baik tawaran si kakek ini daripada kayu yang mereka dapat juga terbilang masih basah, dan pasti susah untuk menyalakannya, tanpa ada minyak!

Kemudian mereka berdua mengikuti kakek tersebut yang berjalan didepan. Dan memang tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai disebuah rumah kecil, halamannya lumayan luas yang ditanami sayur-sayuran. Kenyataan ini mengesankan sekali kalau rumah tersebut adalah model rumah-rumah dilereng gunung. Disebelah kiri rumah agak kebelakang memang ada tumpukan kayu-kayu kering yang banyak sekali. Menurut perasaan pendaki waktu itu. Perjalanan dengan si kakek tak lebih dari 5 menit. Singkat cerita setelah sahabat pendaki mengambil kayu secukupnya dan mencicipi ketela dan wedang jahe yang sedari mereka sampai ke rumah kakek tersebut sudah dipersiapkan 2 gelas! Mereka pun berpamitan pada nenek istrinya si kakek. Dengan di antar si kakek, mereka yang sambil memanggul kayu berjalan beriringan, kadang-kadang kalau jalannya sempit si kakek berjalan paling belakang. Dalam perjalanan ini mereka tidak bicara sepatahpun. Sedangkan pendaki sendiri sempat berkhayal pasti kawan-kawan yang menunggu di pos 1 pasti senang, karena mereka membawa kayu bakar yang kering. Namun, dari sahabat pendaki yang memanggul kayu sempat terlintas perasaan aneh, bahwa ia membawa kayu bakar yang lumayan banyak tapi kok tidak merasa berat dan juga tidak merasa lelah padahal pendaki yang memanggul kayu lebih sedikit sudah kelelahan.
Pendaki berpikir, barangkali dia senang dapat kayu bakar banyak dan lagi tadi mereka habis makan ketela rebus, ditambah wedang jahenya segar sekali. Setelah berjalan sekitar 5 menitan, kemudian sampailah mereka persis ditempat pertama bertemu si kakek.
“Lee, Mbah ngeterne kowe tekan kene wae yo! Mesakne Mbah wedok ora ono kancane nang omah, lan maneh kowe-kowe rak wis eling to dalan nang panggonane kanca-kancamu mau? (Nak, Kakek ngantar kamu sampai disini saja ya! Kasihan Nenek tidak ada temannya di rumah, dan lagi kalian kan sudah ingat to jalan menuju tempat teman-temanmu tadi. langsung menjawab, “Oh, nggih Mbah matur suwun sanget, ngrepotaken Mbah kemawon niki, kulo kaleh rencang kulo sampun enget kok Mbah marginipun (OH, mbah terima kasih sekali, merepotkan saja Mbah ini, saya dan teman saya sudah ingat kok Mbah jalannya)”.

Kemudian pendaki lihat kakek tersebut berjalan balik, dan tanpa penerangan sama sekali. Sedangkan mereka berdua mempersiapkan diri mau meneruskan perjalanan naik ke Pos 1. Hanya saja sahabat pendaki merasa aneh, sebab bawaan kayunya sekarang kok terasa agak berat." Aah, barangakali kamu sudah lelah", jawab pendaki sekenanya.

Setelah berjalan beberapa langkah, pendaki sempat menoleh lagi kebelakang untuk melihat si kakek. Tapi sosok tadi sudah tidak kelihatan lagi, padahal baru saja. Tapi ya sudahlah, pikir pendaki dia lewat jalan pintas.
 
Setelah hampir sampai di Pos 1 pendaki agak kaget, di kejauhan kok ada cahaya kemerahan. Bengong saja waktu itu dan mereka sempat berpandangan agak lama. Jangan-jangan ini sudah pagi. Dengan rasa penasaran bergegas mereka ke POS 1 tempat kami berencana bermalam. Dan penasaran mereka terjawab sudah!

Mereka berdua bengong saja ketika 5 rekan mereka marah habis-habisan, mereka menunggu pendaki dengan harap-harap cemas. Mencari pendaki pun percuma, mau turun ke bawah juga sangat riskan karena satu-satunya senter pendaki yang bawa untuk mencari kayu bakar. Meraka hanya berteriak-teriak saja memanggil pendaki dari sekitaran Pos 1 tersebut. berlima mereka sepakat jika pada keesokan harinya saja akan mencari pendaki dan sebagian akan meminta bantuan dibawah untuk melaporkan hilangnya pendaki dan kerabatnya. Baru kali ini pendaki merasakan rasa sepenanggungan, mereka berpelukan dengan mata berkaca-kaca. Meski mereka sempat melampiaskan rasa kejengkelan pada pendaki. Pendaki terima dengan ikhlas.

Kagetnya, waktu itu sudah pagi betulan. Tak berapa lama kemudian matahari muncul dari balik bukit dan pemilik warung pun sudah datang dari bawah. Setelah mereka memesan mie instan di warung, mereka semua turun dan tidak jadi meneruskan perjalanan naik ke puncak Lawu. Diliputi sejuta pertannyaan kenapa semua ini bisa terjadi. Waktu pendaki mencari kayu bakar, temen yang lain bilang belum sampai pukul 9 malam. Dan menurut pendaki ketika dirumah kakek tersebut tak lebih dari stengah jam dan ditambah 10 menit pulang pergi kerumah kakek tersebut. tahu-tahu pendaki samapi lagi di Pos 1 sudah pukul 5 pagi. Apakah ini yang namanya disebut menembus batas waktu. Entahlah, pendaki hanya bersyukur tidak terjadi apa-apa pada pereka semua. Pendaki tidak mau berandai-andai.

Pada akhirnya semua rencana mereka batalkan semua. Mereka langsung meluncur pulang kembali ke Tuban, dengan masih membawa sejuta pertannyaan yang bergelayut dibenak. Siapa kakek itu? Siapapun beliau, saya berterimakasih padanya, atas kebaikannya pada mereka berdua. Hanya Tuhan yang akan membalas kebaikanmu Mbah.